Laman

Jumat, 12 Oktober 2012

RESTORAN MINYAK TANAH

Kejadian ini berawal ketika istri saya mudik ke kampung halaman. Sifat ketergantungan saya kepada istri selama ini memang sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Saya benar-benar tidak mandiri, baik dalam hal mengurus rumah maupun dalam hal-hal yang sangat sepele, misalnya menyiapkan makan sehari-hari. Pekerjaan seperti itu bagi saya rasanya sangat berat dan membosankan.

Selepas pulang kerja, biasanya aneka makanan sudah bertengger di meja makan. Tapi tidak untuk malam itu. Saya harus menyiapkan santapan sendiri. “Kolaborasi indomie rebus dan nasi hangat pastilah food-combining terhebat untuk malam yang dingin seperti ini”, pikir saya. Maka saya menuju dapur untuk maksud tersebut. Melihat dapur yang begitu rupa berantakannya, saya tertegun sejenak, dan sungguh bisa diduga, terbayang betapa repotnya mempersiapkan segala sesuatu hingga food-combining itu siap dilahap. Dalam hitungan detik, saya putuskan balik kanan : beli saja !


Malam itu memang saya ingin berbuat baik. Maka saya datangi warung yang paling sepi di daerah saya. Sekedar untuk memberi semangat, bahwa apa yang dia usahakan ini ada hasilnya. Bahwa untuk sukses laris manis membutuhkan kesabaran dan perjuangan. Bahwa segala hal yang besar-besar pastilah dimulai dari yang kecil-kecil. Warung ini memang lagi sepi. Satu-satunya pelanggan saat itu ya cuma saya. Warung pinggir jalan ini teramat kecil, kumuh dan dapat dipastikan kurang sehat. Tapi tidak apa-apa, demi berbuat baik kepada sesama, saya masuk warung itu dan memesan makanan, juga minuman.
Begitu disajikan, kontan saya santap. Baru pada gigitan pertama, yang harus terjadi terjadilah : rasa dan aroma minyak tanah ada di makanan itu ! Sempat terpikir saya muntahkan saja, saya bayar dan cari warung yang lain. Tapi melihat penjaga warung yang sudah tua renta begitu saya tidak tega. Pastilah orang ini sudah payah hidupnya. Maka saya tahan saja, dengan sedikit kedongkolan saya makan pelan-pelan dan akhirnya habis juga. Prosesi makan yang amat menyiksa...
Habis makan kini giliran minum. Saya bersegera saja memegang gelas bertangkai berisi minuman pesanan itu, siapa tahu minuman ini bisa menghilangkan rasa minyak tanah pada makanan tadi. Astaghfirullah, minuman ini ternyata tak lebih sebuah siksaan yang lain. Rasa minyak tanah memang hilang, tapi berganti rasa kaporit yang sangat kental ! Bisa saja saya semprotkan minuman yang sudah terlanjur masuk mulut ini ke tanah. Tapi lagi-lagi, melihat wajah beliau yang memelas dan cenderung “ngowoh” ini, penyemprotan itu saya urungkan. Betapa terlukanya hati beliau bila hal itu saya lakukan. Maka dengan lagak jagoan, minuman itu saya habiskan dengan sekali teguk !
Usai makan-minum tibalah giliran saya tanya berapa yang harus saya bayar. Tanpa ekspresi yang bisa diterjemahkan dengan mudah, beliau menyebut angka rupiah yang sungguh tidak masuk akal ! Angka yang hanya pantas untuk sebuah restoran berkelas. Dengan tangan setengah lunglai saya merogoh dompet dan membayar sesuai yang beliau ucapkan. Apa boleh buat.
Keluar warung, perasaan kesal dan kecewa menyelimuti diri saya......

1 comments:

Unknown mengatakan...

Petroleum is a term that is widespread in everyday life.
suksestoto

Posting Komentar